Jejak Plato di Ombak Cinta: Telaah Filosofis 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck'


Film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” adalah sebuah karya seni bergenre romansa yang dirilis pada tanggal 19 Desember 2013 dan versi extended di tanggal 11 September 2014. Film ini disutradarai Sunil Soraya dan diproduksi juga oleh Ram Soraya. 

Film ini diadaptasi dari karya novel sastrawan dan budayawan yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau biasa dikenal dengan nama masyhurnya yakni Buya Hamka. Latar belakang film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” mengisahkan adanya peristiwa atau alur dengan bumbu pertentangan dan konflik karena adanya perbedaan status sosial dalam masyarakat setempat, sebuah perbedaan pula yang kemudian menjadi penghalang sebuah hubungan. 

Konflik yang terjadi pada film ini terlihat pada kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati, hal tersebut lantaran penyulingan kenyataan bahwa Zainuddin bukanlah garis keturunan Minangkabau dengan Hayati yang merupakan perempuan bergaris keturunan Minangkabau (Rozaq & Pratama, 2021). Sebuah ending dengan air mata perpisahan maut cukup membuat emosi penonton termasuk saya ikut terombang-ambing. 

Meskipun tidak hanya ending scene, dalam scene dimana chemistry antar tokoh diperkuat seolah kisah nyata cukup membuat emosi penikmat karya tersebut larut dalam alurnya. Diproduksi oleh Soraya Intercine Films, film ini dibintangi Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, dan Randy Danistha.

Dalam pandangan saya, film ini kurang lebihnya berfokus dalam permasalahan cinta Zainuddin dan Hayati. Zainuddin adalah seorang anak yang tidak memiliki suku dikarenakan adat Bugis memiliki nasab suku kepada ayahnya, namun adat Minang sendiri seorang anak memiliki nasab suku dari ibu. 

Dalam film tersebut, sosok Hayati di gambarkan sebagai anak dari pemangku adat yang menjunjung tinggi adatnya yakni adat Minang, oleh karenanya dalam pemilihan calon suami, haruslah se-kufu atau haruslah sesuai dengan adatnya yakni adat Minang dengan mempelai pria bersuku Minang. Hal tersebut dilakukan supaya anak dari Hayati kemudian mendapat keturunan suku asli atau suku Minang. Bukan dengan orang yang tidak bersuku seperti Zainuddin. 

Oleh karenanya kemudian keluarga Hayati bersepakat memilih Aziz sesuai kesepakatan keluarganya yang kala itu masuk dua lamaran, yakni lamaran dari Zainuddin dan Aziz. Tentu saja Aziz sebagai jalan keluarnya, karena pemangku adat haruslah mematuhi adat atau dengan kemungkinan lain yakni kekayaan atau harta dan martabat duniawi karena dalam film tersebut juga diperlihatkan gemilangnya kehidupan Aziz. 

Dengan banyaknya fokus atau plot yang beragam masalah tersebut muncul, hingga kemudian dapat dibingkai menjadi sebuah alur cerita dan bisa di analisa dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, saya memilih sudut pandang Plato sebagai teori analisa dari plot atau alur film tersebut. 

Plato adalah seorang filsuf Yunani yang lahir di kota Athena pada tahun 428 SM. Ayahnya bernama Ariston keturunan Kodrus (raja terakhir Athena) dan Ibunya bernama Periktione, ia adalah keturunan kerajaan atau darah biru baik dari jalur ayah maupun ibunya. Sejak kecil Plato sudah mengikuti diskusi-diskusi Sokrates, namanya aslinya ialah Aristokles karena nama Plato merupakan nama pemberian gurunya. 

Meski hidup di era Yunani kuno, Plato memiliki pendapat bahwa Tuhan itu the one atau satu. Dari teorinya tersebut, secara substansial antara teori tersebut dengan konsep Islam memiliki persamaan yaitu kebenaran berasal dari the one yakni Tuhan. Dengan kata lain semua yang ada itu mempunyai sebab-penyebab adanya sesuatu, karena penyebab dari sesuatu yang lain karena yang lain sampai puncaknya atau penyebab dari semuanya adalah tuhan yang diartikan dalam Islam dengan adanya Allah SWT (Lidinilah, 2020).  

Dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck menyoroti pula tentang agama Islam sebagaimana Zainuddin yang berpegang teguh pada ajaran Islam cukup mengindikasikan bahwa teori Plato digunakan sebagai bentuk the one atau Tuhan hanyalah satu yakni Allah swt. Bukan hanya Zainuddin, seluruh yang beragama Islam dalam film tersebut, tanpa mereka sadari mengadopsi ajaran Plato yakni Tuhan hanyalah satu.

Teori Plato yang kemudian ialah teori yang tertuang dalam Simposium  atau dialog tentang hakikat eros (cinta) dan peranannya dalam keberadaan hidup manusia. Cinta tahap pertama yang dirasakan Zainuddin kepada Hayati dapat kemudian dilihat sebagai contoh dari rasa cinta terhadap kecantikan fisik Hayati yang sebagaimana diungkapkan Plato dalam Simposium. 

Plato menganggap bahwa cinta terjadi melalui proses bertahap yang bermula dari apresiasi terhadap penampilan fisik yang terlihat secara indrawi, hingga berlanjut pada keindahan spiritual (Ramadhan, 2024). Ia pertama kali tertarik kepada Hayati karena kecantikannya, terlihat dalam scene jelas pertemuan pertama yang dalam simposium merupakan tahap pertama dalam evolusi cinta menurut Plato. 

Namun seiring berjalannya waktu kemudian, Zainuddin mulai memahami bahwa kecantikan fisik tidak cukup untuk menciptakan hubungan untuk jangka panjang atau tahap pernikahan. Kemudian cinta Zainuddin tersebut berkembang menjadi bentuk cinta yang lebih dalam terhadap jiwa Hayati atau karakter dan kebaikan serta olah lembut Hayati. 

Hal ini dapat dilihat dalam scene interaksi mereka, ketika Zainuddin dikucilkan atau memahami kemudian bahwa cinta mereka akan terhalang oleh perbedaan sosial bahkan keberagaman suku tersebut, Hayati tetap merupakan pribadi yang baik dan penuh kasih bahkan berteman dan lebih kompleks atau dalamnya mereka berjanji untuk jenjang yang lebih yakni sebuah pernikahan. 

Salah satu contoh dari peralihan cinta Zainuddin dari kecantikan fisik ke karakter kemudian terlihat ketika Zainuddin mengetahui kemudian bahwa Hayati lebih memilih untuk mematuhi kehendak keluarganya dan menikahi Aziz, meskipun Hayati lebih mencintai Zainuddin. Oleh kemudian setelah sadarnya Zainuddin dari keterpurukannya, Zainuddin mulai menghargai Hayati bukan hanya sebagai sosok dengan kecantikan fisik saja. 

Tetapi kemudian juga sebagai wanita dengan stoicnya bahwa Hayati adalah seorang yang patuh terhadap keluarganya. Hingga kemudian hal tersebut dapat menjadi bentuk atau cinta terhadap jiwa karakter selayak tahapan cinta paling tinggi dalam teori Plato yang dimana berhubungan dengan sesama atau keberlangsungan hidup kemudian manusia.

Selanjutnya dalam scene dimana antara Hayati dan Zainuddin yang setelah mereka dikisahkan telah menjalani hidup masing-masing namun kembali bertemu di Surabaya. Meskipun kemudian diakhiri dengan maut yang kemudian tercermin juga dalam teori Plato yakni teori Jiwa atau dualisme Plato. Jiwa yang diyakini mengalami pra-eksistensi sebelum bersatu dengan tubuh dapat kemudian bereinkarnasi setelah kematian, Hingga kemudian Plato berargumen bahwa manusia adalah Jiwa, dan jiwa adalah manusia. 

Kejahatan, Kebusukan, dan kecenderungan yang buruk dapat berakar dalam tubuh, karena perenungan dalam (meditasi) manusia adalah meditasi berdasar dari kematian sebagai pembebasan jiwa dari tubuh. Oleh karenanya, pandangan antropologis tentang manusia yang demikian masuk dalam kriteria dualisme Plato atau konsep Jiwa Plato (Simorangkir, 2004). 

Dalam bahasa pemahaman singkat pribadi saya sendiri, teori jiwa Plato juga dikenal dengan pandangan dualisme jiwa dan tubuh dimana adanya pemisahan antara dunia material (tubuh) dan dunia immaterial (jiwa). Demikian, hal tersebut selaras dalam film tersebut dibuktikan adanya pernyataan Hayati yang sebagai berikut, “Jiwamu selalu dekat dengan jiwaku. Cinta tak melemahkan hati, tapi menguatkan pengharapan. Semoga Tuhan memberi perlidungan”. 

Selanjutnya Hayati berkata, “Biar Tuhan mendengar, bahwa kau Zainuddin. Kalau bukan suamiku di dunia, maka kau suamiku di akhirat”. Dengan tersirat dengan maksud akhirat tanpa Hayati sadari hal tersebut juga membahas sesuatu yang berkaitan dengan jiwa. Karena pada dasarnya jiwa adalah substansi yang abadi dan berasal dari yang bukan fana, karena menurut saya sendiri jiwa adalah bagian dari Tuhan yang diberikan kepada hambanya. 

Selain hal tersebut, pengucapan kata jiwa secara tersurat cukup menggambarkan bahwa tanpa Hayati sadari telah mengonsumsi pemikiran Plato tanpa sadar.

Kemudian, dalam Republik tertuang pemikiran Plato yang membahas konsep keadilan dan ketidakadilan. Keadilan sendiri bisa dicapai ketika setiap individu dapat menjalani perannya sesuai dengan kemampuan serta posisi sosial mereka pribadi. Hal tersebut tercermin pula dalam pemikiran Plato yang menghubungkan konsep keadilan dalam jiwa individu dengan keadilan masyarakat. 

Menurutnya, masyarakat yang adil adalah masyarakat yang mana setiap individu dapat menjalankan perannya sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing (Suhandoko, 2024). Dengan demikian, tercermin sesuai dalam kisah tersebut dengan latar hidup dalam masyarakatnya terstruktur secara ketat dibayangi norma sosial yang mengatur peran dan status seseorang. 

Hayati berasal dari keluarga yang sangat menghargai kedudukan sosial, sementara Zainuddin sendiri berasal dari keluarga yang menurut pandangan mereka lebih rendah bahkan tidak bersuku. Dalam permasalahan tersebut bukan hanya soal cinta saja, tetapi juga ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat mereka. 

Zainuddin yang dikucilkan dalam sesuatu juga mencerminkan dari adanya ketidaksetaraan strata sosial. Dalam hal ini, masyarakat lebih khususnya keluarga Hayati sendiri dapat menjadi oknum yang bertindak sebagai penghalang bagi cinta keduanya. 

Sebagaimana tragedi yang dapat dilihat dalam film ini dapat dianggap pula sebagai akibat dari ketidakadilan sosial ialah ketika Zainuddin yang meskipun memiliki kualitas pribadi yang luar biasa, dianggap tidak layak untuk menikahi Hayati hanya karena status sosial mereka yang berbeda. Hayati yang bersuku murni dan Zainuddin yang bersuku campuran hingga kesimpulan bahwa Zainuddin tidak bersuku karena ayahnya adalah orang Minang. 

Dalam hal tersebut menuru saya jelas menggambarkan ketidakadilan sosial yang terjadi ketika seseorang tidak mengejar kebahagiaannya atau tujuan mereka karena dibatasi oleh perbedaan status dan tentu saja hal tersebut tidak adil. Oleh karenanya kemudian saya masukkan dalam konsep keadilan milik Plato.

Terlepas dari banyaknya teori, kesimpulan yang dapat saya ambil dalam film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck sendiri tidak luput dari adaptasi pemikiran Plato, meskipun sang pembuat atau sang penikmat karya tidak menyadarinya. Dalam pemikiran Plato yang tertuang dalam kisah tersebut tentu jika dimuat semuanya tidak mungkin dapat selesai, karena pemikirannya yang luas dan bisa dibilang sebagai akar pemikiran tentu memiliki sinonim atau persamaan dalam pemikiran para tokoh Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. 

Namun, sebagai formalitas adanya resensi analisa ini hanya saya lampirkan beberapa sebagai argumentasi bahwa pemikiran Plato juga tertuang dalam kisah tersebut. Oleh karenanya, sesuatu yang klasik belum tentu tidak berharga. Sesuatu yang dianggap biasa, belum tentu hal tersebut adalah sebuah hal yang biasa. Selayak seorang manusia yang tidak sadar telah mengadopsi banyak pemikiran, mereka sebenarnya sudah hebat namun seolah kosong atas pengetahuan yang mereka terima adalah seorang pencari ilmu sejati. 

Demikian resensi dengan kaitan teori Plato dibuat, disamarkan karena tidak berniat memberi spoiler untuk pembaca karena review tidak bisa menjadi patokan indah atau tidaknya sebuah karya.

Oleh: Alfinda Wamar Aini 

Jurusan: Aqidah dan Filsafat Islam

Fakultas : Ushuluddin dan Dakwah 

Universitas: UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Komentar