Memaknai Mitos dari Pesan Moral

Oleh: Arys Purwadi 

Kisah-kisah yang dianggap mitos di masyarakat Indonesia perlahan mulai meredup seiring derasnya arus modernisasi dan perkembangan teknologi informasi. Dulu, cerita rakyat seperti legenda, dongeng, maupun mitos menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tutur lisan. Kini, kisah-kisah itu mulai kehilangan pamor karena kalah bersaing dengan tontonan digital dan budaya populer yang lebih menarik perhatian generasi muda.

Di berbagai daerah Indonesia, mitos tidak hanya sekadar cerita pengantar tidur, tetapi juga sarana pendidikan moral dan kontrol sosial. Misalnya, kisah Nyi Roro Kidul, penguasa Laut Selatan, dahulu menjadi peringatan agar masyarakat tidak bersikap sombong atau ceroboh ketika berhadapan dengan alam. Mitos ini juga mengandung pesan bahwa laut memiliki kekuatan yang tidak boleh diremehkan. Namun kini, kisah itu sering dianggap sekadar legenda tanpa makna mendalam, bahkan banyak yang menganggapnya sekadar cerita menyeramkan untuk menarik wisatawan.

Contoh lain adalah cerita Legenda Danau Toba. Dalam kisah itu, seorang pria menikahi seorang perempuan yang ternyata berasal dari ikan, lalu sumpah yang dilanggar menimbulkan bencana dan terbentuklah danau besar. Cerita ini dulu menjadi simbol pentingnya menepati janji dan menghormati hukum alam. Namun bagi sebagian generasi muda masa kini, legenda itu hanya dianggap dongeng anak-anak tanpa relevansi sosial.

Hal serupa juga terjadi pada kisah Roro Jonggrang dari Jawa Tengah. Mitos ini menggambarkan asal-usul Candi Prambanan dan memuat pesan tentang kesetiaan, kecerdikan, dan akibat dari tipu daya. Sayangnya, kisah yang dulu diceritakan turun-temurun itu kini lebih sering ditemui dalam bentuk film animasi atau konten media sosial yang hanya menonjolkan sisi romansa, bukan nilai moralnya.

Jika dibandingkan dengan mitologi Yunani, kisah-kisah mitos Indonesia tampak kurang mendapat tempat dalam budaya populer modern. Nama-nama seperti Zeus, Athena, atau Hercules tetap dikenal luas, bahkan muncul dalam film Hollywood, buku, dan permainan video. Mitos Yunani tetap hidup karena terus direinterpretasi dan disesuaikan dengan zaman. Sementara itu, mitos Nusantara sering berhenti di ruang lokal tanpa pengembangan kreatif yang lebih luas.

Padahal, mitos-mitos Nusantara menyimpan nilai-nilai filosofis dan simbolik yang dalam. Kisah Dewi Sri, misalnya, melambangkan kesuburan dan rasa syukur atas hasil bumi. Dalam masyarakat agraris, cerita tentang Dewi Sri menjadi pengingat pentingnya menghargai alam dan bekerja keras. Kini, makna itu semakin terpinggirkan karena generasi muda lebih mengenal karakter fiktif global ketimbang figur-figur sakral dari tradisi mereka sendiri.

Meredupnya mitos di masyarakat Indonesia juga dipengaruhi oleh pola pikir rasional dan ilmiah yang makin kuat. Segala sesuatu kini diukur dengan logika dan bukti empiris. Cerita tentang makhluk halus, kutukan, atau tempat keramat dianggap tidak relevan dengan dunia modern. Padahal, mitos tidak harus selalu dipercaya secara harfiah; ia bisa dimaknai sebagai simbol tentang hubungan manusia dengan alam dan moralitas.

Sebagai contoh, mitos tentang Gunung Merapi yang dijaga oleh Mbah Petruk dahulu memiliki fungsi sosial penting: mengingatkan masyarakat agar selalu waspada terhadap bencana alam. Kisah ini bukan sekadar mistis, melainkan bentuk pengetahuan lokal tentang siklus letusan gunung yang diwariskan lewat cerita dan ritual. Ketika mitos itu diabaikan, pengetahuan tradisional pun ikut hilang.

Kisah-kisah mitos sebenarnya juga memiliki potensi ekonomi dan budaya yang besar. Negara-negara seperti Jepang sukses mengemas cerita rakyat mereka—seperti Momotaro atau Yokai—menjadi bagian dari industri hiburan modern. Indonesia bisa melakukan hal serupa dengan kisah Jaka Tarub, Malin Kundang, atau Tangkuban Perahu, tetapi dengan pendekatan baru yang lebih kontekstual tanpa kehilangan nilai aslinya.

Ironisnya, sebagian masyarakat justru lebih percaya pada mitos luar negeri ketimbang kisah sendiri. Banyak remaja mengenal dewa Yunani atau tokoh mitologi Nordik dari film Marvel, tetapi tidak tahu siapa itu Baruna atau Batara Kala dalam kisah Jawa. Fenomena ini menunjukkan bahwa mitos kita kalah populer bukan karena tidak menarik, tetapi karena kurang dieksplorasi dan direpresentasikan secara modern.

Mitos di Indonesia tidak seharusnya dianggap sebagai kebohongan masa lalu. Ia adalah refleksi dari cara berpikir, rasa takut, dan harapan nenek moyang kita. Kisah Sangkuriang, misalnya, tidak hanya menjelaskan asal-usul gunung, tetapi juga menggambarkan konflik antara keinginan manusia dan batas moral yang dilanggar. Cerita seperti ini tetap relevan jika disajikan dengan pendekatan baru yang sesuai dengan zaman.

Di sisi lain, mitos juga berfungsi sebagai perekat sosial. Ia memberi identitas bagi komunitas tertentu dan memperkuat rasa kebersamaan. Saat kisah-kisah itu memudar, masyarakat kehilangan sebagian ingatan kolektifnya. Bayangkan jika anak-anak di masa depan tidak lagi mengenal legenda daerah mereka sendiri—maka hilanglah satu unsur penting dari keindonesiaan.

Revitalisasi mitos bisa dilakukan melalui pendidikan, sastra, film, dan teknologi digital. Guru dapat menjadikan mitos lokal sebagai bahan ajar untuk menanamkan nilai budaya. Sineas bisa mengadaptasi legenda Nusantara dengan cara yang segar dan sinematik. Seniman digital bisa menghidupkan kembali tokoh-tokoh mitos lewat komik, gim, atau animasi. Dengan begitu, kisah-kisah itu tidak sekadar bertahan, tetapi benar-benar hidup dalam konteks modern.

Memang benar, tidak semua mitos harus dipercaya secara literal. Namun, meniadakan seluruhnya sama saja memutus akar kebudayaan kita sendiri. Mitos bukan hanya soal keajaiban, tetapi juga cermin nilai-nilai kemanusiaan yang universal: kejujuran, tanggung jawab, dan cinta terhadap alam. Selama nilai-nilai itu masih relevan, mitos seharusnya tetap memiliki tempat di hati masyarakat.

Akhirnya, kisah-kisah yang dianggap mitos tidak seharusnya hilang di telan zaman. Di tengah gempuran budaya global, mitos lokal justru bisa menjadi penanda identitas yang unik. Mungkin sudah saatnya kita berhenti menertawakan cerita tentang Nyi Roro Kidul atau Sangkuriang, dan mulai melihatnya sebagai bagian penting dari warisan intelektual bangsa. Karena, di balik mitos yang tampak mustahil, selalu tersimpan kebenaran tentang siapa kita dan dari mana kita berasal.

Komentar