Menunggu Bus dan Pelajaran Hidup di Terminal Kertonegoro


Senin lalu (24/02/25), saya menunggu bus patas jurusan Surabaya di Terminal Kertonegoro, Ngawi. Waktu berjalan lambat, hampir satu setengah jam saya duduk di sebelah pelataran, memperhatikan lalu lalang kendaraan dan orang-orang di sekitar. Selama ini, saya mengira angkutan umum sudah mati total, tergantikan oleh kendaraan pribadi dan layanan transportasi daring. Namun, kenyataan di depan mata membuktikan sebaliknya.

Bus antar kota tetap melaju, berhenti sejenak di terminal untuk menjemput dan menurunkan penumpang. Setiap tiga menit sekali, bus lain datang dan pergi, lebih tertib dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada lagi bus yang sekadar melintas tanpa masuk terminal, semuanya mengikuti aturan.

Saya duduk di bangku yang menghadap langsung ke pelataran, tempat bus-bus besar itu berlalu lalang. Dari situ, saya bisa melihat ratusan orang dengan berbagai tujuan. Mereka bergegas, berbincang, atau sekadar menunggu dengan sabar. Percakapan mereka beragam, dari topik ringan hingga perbincangan serius.

Di tengah keramaian itu, ada satu hal yang menarik perhatian saya—seekor kucing dekil yang duduk malas di dekat saya. Tubuhnya kurus, bulunya kotor, dan di sekitar kepalanya terlihat jamur yang sering ia garuk dengan kaki depan. Tatapannya kosong, seolah pasrah pada keadaan.

Orang-orang yang melintas di dekat kucing itu selalu mengubah arah langkahnya, seperti enggan terlalu dekat. Ada rasa kasihan di wajah mereka, tapi tidak ada yang tahu harus berbuat apa. Kucing itu tetap di tempatnya, seakan menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang.

Beberapa pedagang asongan yang mondar-mandir juga memperhatikan kucing itu. Mereka berbicara tentang keselamatannya, khawatir kalau nanti hewan malang itu tertabrak kendaraan yang lalu lalang hanya beberapa meter dari tempatnya duduk. Namun, kekhawatiran mereka sebatas kata-kata.

Selama satu setengah jam saya di sana, saya tidak mendengar pembicaraan tentang kebijakan pemerintah, program prioritas, atau isu-isu nasional yang sering memenuhi media. Yang saya dengar hanyalah percakapan sederhana tentang bertahan hidup dan mencari rezeki.

Pedagang asongan, rata-rata ibu-ibu berusia sekitar 50 tahun, lebih sibuk membahas dagangan mereka. Mereka berbagi informasi tentang jadwal bus yang ramai penumpang, menentukan kapan harus masuk ke dalam kendaraan untuk menawarkan jualannya. Mereka bahkan hafal nama sopir dan kenek yang biasa bekerja di jalur itu.

Di tempat tunggu, kondektur dan calo bercengkerama dengan akrab. Mereka tertawa, bercanda, berbicara tentang hal-hal remeh. Tak ada diskusi soal kebijakan negara atau kegaduhan politik. Bagi mereka, kehidupan berjalan sebagaimana mestinya—cukup dengan mencari uang untuk hari ini dan esok.

Saya menikmati suasana itu. Ada semangat dan optimisme yang terasa di antara orang-orang yang berjuang untuk hidup mereka. Tidak ada keluhan berlebihan, tidak ada ratapan panjang tentang sulitnya keadaan. Mereka hanya bergerak, berusaha, dan terus maju.

Satu setengah jam terasa singkat. Dari mereka, saya belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar. Kadang, ia muncul dari canda tawa kecil, dari interaksi sehari-hari, atau dari keyakinan bahwa selama masih bisa berusaha, hidup akan terus berjalan.

Oleh Arys Purwadi

Komentar