May Day 2025: Serikat Buruh dan Kesadaran Politik sebagai Pilar Kesejahteraan
Di era kemajuan zaman yang menuntut profesionalisme di segala bidang, baik sektor industri maupun non-industri, penguasaan keahlian spesifik menjadi syarat mutlak bagi pekerja. Industri modern tidak hanya membutuhkan tenaga kerja yang terampil secara teknis, tetapi juga individu yang mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan teknologi dan sistem produksi.
Namun, di balik tuntutan kompetensi individual, terselip realitas bahwa kesuksesan karir tidak semata bergantung pada keahlian personal, melainkan juga pada kemampuan kolektif pekerja dalam memperjuangkan hak-hak dasar mereka. Di sinilah paradoks zaman ini terlihat: di satu sisi, pekerja dituntut menjadi ahli di bidangnya, tetapi di sisi lain, mereka harus cerdas mengorganisir diri untuk melawan ketidakadilan struktural.
Persoalan mendasar yang sering diabaikan adalah bahwa penguasaan keterampilan teknis tanpa diimbangi kesadaran kritis hanya akan menjadikan pekerja sebagai roda penggerak mesin industri yang rentan dieksploitasi. Serikat buruh muncul sebagai penyeimbang kekuatan antara kepentingan korporasi dan hak-hak pekerja. Melalui organisasi ini, buruh tidak hanya sekadar menuntut upah layak atau jaminan keselamatan kerja, tetapi juga membangun kekuatan politik untuk mengadvokasi perubahan kebijakan. Demonstrasi, misalnya, bukan sekadar aksi protes, melainkan instrumen demokratis untuk memastikan suara pekerja terdengar dalam pusaran kebijakan makro.
Politik menjadi medan pertarungan yang tak terhindarkan bagi pekerja yang ingin memastikan hak-haknya tidak diabaikan. Partisipasi dalam pemilu untuk memilih pemimpin yang pro-buruh, atau bahkan mengusung kandidat dari kalangan serikat pekerja, adalah bentuk konkret bagaimana gerakan buruh bisa menembus jantung kekuasaan. Contoh nyata terlihat dari perjuangan menaikkan upah minimum provinsi (UMP) atau kabupaten (UMK), di mana keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh negosiasi di meja tripartit, tetapi juga oleh tekanan politik melalui mobilisasi massa dan lobi kebijakan.
Aksi demonstrasi kerap dipandang sebagai langkah konfrontatif, namun esensinya justru terletak pada fungsi edukatif. Ketika buruh turun ke jalan, mereka tidak hanya menuntut perbaikan upah, tetapi juga membongkar ketimpangan sistemik yang sering kali disembunyikan di balik retorika pertumbuhan ekonomi. Gerakan ini memaksa publik dan pembuat kebijakan untuk melihat bahwa di balik kemajuan industri, masih ada pekerja yang terpaksa memilih antara membeli obat atau membayar sewa rumah.
Prinsip tripartit—melibatkan pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja—menjadi contoh ideal kolaborasi yang berkeadilan. Namun, mekanisme ini hanya efektif jika serikat pekerja memiliki kapasitas analisis kebijakan dan kekuatan tawar yang setara. Di Indonesia, misalnya, partisipasi serikat dalam menyusun aturan ketenagakerjaan sering kali hanya simbolis jika tidak didukung oleh data akurat dan tekanan publik. Inilah mengapa literasi politik dan hukum bagi pekerja harus menjadi agenda utama gerakan buruh.
Kesadaran berserikat dan berpolitik juga membuka jalan bagi terciptanya ekosistem kerja yang inklusif. Perlindungan dari diskriminasi, penetapan jam kerja manusiawi, atau jaminan kesehatan mental pekerja adalah isu-isu yang hanya bisa diadvokasi melalui kekuatan kolektif. Serikat buruh yang progresif tidak hanya fokus pada urusan upah, tetapi juga mendorong perusahaan untuk mengadopsi standar lingkungan kerja berperspektif hak asasi.
Tantangan terbesar saat ini adalah menjembatani kesenjangan antara pekerja generasi muda yang melek teknologi namun apolitis dengan pekerja senior yang mungkin memiliki pengalaman organisasi tapi kurang adaptif. Gerakan buruh harus mentransformasi diri dengan memanfaatkan platform digital untuk membangun solidaritas, menyebarkan informasi hak-hak pekerja, dan mengorganisir kampanye secara virtual. Pada saat yang sama, serikat perlu merangkul isu-isu kontemporer seperti kesetaraan gender di tempat kerja dan transisi energi yang adil.
Penting diingat bahwa perjuangan buruh tidak bisa dipisahkan dari narasi besar keadilan sosial. Ketika serikat pekerja memperjuangkan hak anggotanya, mereka sebenarnya sedang membangun fondasi masyarakat yang lebih egaliter. Upaya menolak pemotongan upah selama pandemi atau menuntut perlindungan bagi pekerja migran, misalnya, adalah bagian dari gerakan melawan oligarki ekonomi yang menguasai sumber daya.
Di tingkat global, gelombang pemogokan buruh di berbagai negara menunjukkan bahwa masalah ketenagakerjaan adalah isu universal. Solidaritas internasional antar serikat pekerja bisa menjadi kekuatan untuk melawan praktik perusahaan multinasional yang memindahkan produksi ke negara dengan upah murah dan perlindungan buruh lemah. Gerakan ini tidak hanya tentang tuntutan lokal, tetapi juga tentang menciptakan standar kerja yang manusiawi di seluruh rantai pasok global.
Pada akhirnya,
profesionalisme di era modern harus dipahami sebagai konsep yang holistik:
tidak hanya tentang keahlian teknis, tetapi juga tentang integritas untuk
memperjuangkan martabat kemanusiaan di tempat kerja. Serikat buruh yang kuat
dan pekerja yang melek politik bukanlah ancaman bagi kemajuan industri,
melainkan pilar penjaga keseimbangan agar kemajuan itu tidak dibangun di atas
penderitaan manusia. Ketika hak-hak buruh dijamin, masyarakat tidak hanya
menjadi lebih adil, tetapi juga lebih makmur karena produktivitas lahir dari
rasa aman dan keadilan.
Oleh: Hono Kustiyo,
Aktivis Buruh, Pengurus SARBUMUSI Ngawi.
Komentar
Posting Komentar