HARI INI, 1 Juni Peringatan lahirnya Pancasila. Tepatnnya 75
tahun lalu, Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa (the
foundhing fathers). Tiga perempat
abad usia Pancasila. Berbagai peristiwa, gejolak dan sejarah telah mencatat. Ada berbagai upaya yang ingin
mendongkel Pancasila sebagai dasar negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dengan ideologi lain. Hingga sekarang masih ada saja yang
mencoba-coba ngutik-ngutik
Pancasila dengan cara-cara terselubung
dan upaya ingin masuk dalam sistem. Kini
sudah waktunya pembela Pancasila dan
yang masih mengakui NKRI meneguhkan
pikiran, hati dan jiwa menegakkan dan melestarikan Pancasila dalam
menghadapi orang-orang, kelompok
yang ingin menyusupkan paham atau ideologi lain dalam Pancasila dan
NKRI. Karena itu anggal I Juni ini moment tepat untuk mereview kembali bagaimana Soekarno—Bung Karno—pernah menyampaikan pidatonya
terkait dengan Pancasila, 15
tahun setelah Indonesia Merdeka.
Pada akhir pidato Bung
Karno 17 Agustus 1965 yang terkenal sebagai “Tahun Berdikari”, Bung Karno menyitir penyair Chairil Anwar, yang mengatakan ingin
hidup seribu tahun lagi. Akupun ingin hidup
seribu tahun lagi Tetapi hal itu tentu tak mungkin. Tidak satu manusia pun yang
mencapai umur seribu tahun. Tetapi Aku
mendoa yang allo, Ya Roobi moga-moga
gagasan gagasanku, ajaran-ajaranku yang
kini tersimpul dalam azimat, gagasan-gagasan dan ajaraan-ajaran itu akan hidup
seribu tahun lagi. Demikian pidatonya Takari 1965.
Apakah azimat ajaran
Bung Karno itu? Pertama,Nasionalisme, Islamisme, Marxisme (NIM 1926). Tulisan
yang pertama tatkala Bung Karno baru berusia 25 tahun, isinya adalah ide persatuan. Bukan saja Bung Karno tidak mempertentangkan
ketiga ide itu, bahkan Bung Karno
melihat sisi persamaan yang dapat menjadi perekat persatuan bangsa untuk dihadapkan kepada pecah belah
persatuan dengan “politik de et impera" kolonialisme yang dikupas lebih lengkap
pada 1930 di depan pengadilan Kolonial
Belanda.
Semula Bung Karno
sebagai tergugat, akhirnya justru penggugat dalam “Pledoi Indonesia Menggungat “
(PIM) 1930. Imperialisme dan kolonialisme harus dihadapi dengan cara radikal progresif revolusioner dengan membangun dan menggunakan
kekuatan aksi-aksi massa membentuk satu partai pelopor yang
mendukung dan didukung oleh massa. Metode perjuangan-perjuangan itu seluruhnya
dapat dibaaca dalam tulisan Bung Karno tahun 1933 mencapai Indonesia Merdeka
(NIM 1933). Di era Indonesia sudah merdeka ini
upaya untuk mempersatukan ketiga
paham nasioalisme, Islamisme dan
Marxisme seperti gagasan Bung Karno hal tidak mungkin. Nasioalisme berlebihan tidak diinginkan oleh bangsa Indonesia. Nasionalisme berlebihan akan menindas bangsa lain. Itu sudah terjadi
pada era Perang dunia I dan Perang dunia II.
Islam sudah menerima
bahwa sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu radikalisme, upaya mendirikan negara Islam banyak ditentang di NKRI.
Apalagi mendirikan negara
selain agama Islam pasti akan
menimbulkan gejolak luar biasa. Bhineka Tunggal Eka sudah menjadi komitmen
bangsa dalam menghadapi perbedaan-perbedaan.
Marxisme dan paham
komunis sudah membuat luka mendalam bagi
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pemberontakan Muso di Madiun 1948 dan
Pemberontakan G/30 S PKI wujud pengkhianatan
kelompok komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap Pancasila dan NKRI. Keinginan
mempengaruhi, menanamkan dan menggunakan paham Marxisme-Komunisme atau paham
lain harus dikubur dalam-dalam oleh
setiap warga negara Indonesia, jika tidak ingin berhadapan dengan pembela
Pancasila dan NKRI. Pancasila dan NKRI adalah harga mati bak kekuatan dahsyat yang sewaktu-waktu diusik ibarat membangunkan 'macan turu'(harimau tidur)
Kedua,
Pancasila sesuai dengan pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Pidato tanpa
teks Bung Karno menguraikan pentinya
Indonesia lebih dulu. Baru yang
lain-lain. Bung Karno menawarkan dasar
falsafah Pancasila: 1) Kebangsaan atau nasionalisme 2) Perikemanusiaan
atau internasionalisme 3) Musyawarah atau demokrasi. 4) Keadilan sosial, 5 ) Ketuhanan
Apabila
kurang setuju dengan angka lima, maka dapat dikepras menjadi Trisilia, yaitu
nasionalisme dan internasionalisme dapat diperas menjadi sosialisme. Demokrasi dan keadilan diperas menjadi sosiodemokrasi dan yang ketiga Ketuhanan.
Apabila
lebih senang dengan Eka Sila dapat diperas
menjadi gotong royong. Pidato 1 Juni 1945 itu diterima secara aklamasi
dan dirumuskan bersama. Rumusan pidato itu kemudian menjadi mukadimah UU 1945
sebagai deklarasi kemerdekaan yang tidak terpisah dengan Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945.
Kegiatan
Pidato 17 Agurtus 1959, penemuan kembali
revolusi kita yang diucapkan menyusul Dekrit 5 Juli kembali ke UUD 1945. Akibat
gagalnya konstituante menetapkan
UUD definitif setelah dua kali pergantian
UUD. Pergantian pertama dengan berlakunya
UUD RIS (negara federasi) yang gagal, tidak sampai satu tahun.
Kemudian ganti dengan UUDS 1959 (negara kesatuan dengan sistem parlementer), juga gagal.
Akhirnya disepakati UUD 1945. Inilah yang paling sesuai untuk membangun Indonesia. Pidato 1959 itu
kemudian dirumuskan menjadi manifesto
politik yang menjelaskan tentang dasar, tujuan kekuatan, lawan yang dihadapi di
hari masa depan bangsa.
Setiap
tahun manifesto politik diberi pedoman pelaksanan yang dimuat dalam pidato 17 Agustus 1960, 17 Agutus 1961, revolusi,
soslisalisme dan pimpinan (Resopim 1961), 17 Agutus 1962 tahun kemenangan
(tahun 1962), 17 Agutus 19563 Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri 1963). (*)
Posting Komentar