MENARIK diskusi terbatas awak media CAKRANEWS.NET Jumat (10/04/2020). Mulai keprihatinan
dan penanggulangan Covid-19, penegakan
hukum, keadilan hukum, hingga anggaran desa diarahkan ke penanggulanan Covid-19
dan banyak lagi. Diskusi itu ada pakar hukum, ada pembangunan
desa, praktisi pendidikan, dosen,
mahasiswa. Dari diskusi itu ditulis Dito, SH, Pengacara yang juga Pimpinan Perusahaan Cakra Media, dalam perspektif
opini.
BANYAK berharap hukum
harus ditegakkan. Haruskah? Sejauh apa hukum harus tegak? Setinggi orang berdiri? setinggi pencakar langit? Setinggi menara? Atu setinggi langit? Atau
setinggi-tingginya mata memandang? Atau setinggi kemampuan duit seseorangnya?
Itulah pertanyaan, mudah jawabnya. Sederhana jawabnya , namun bisa mbulet jika sudah menyangkut
sebuah kasus praktek hukum.
Coba kasus suap/gratifikasi melibatkan pejabat.
Sederhana saja ada pengakuan, ada
saksi, ada bukti kuat. Ujungnya jadi
mbulet kalau sudah berada di pengadilan. Ujungnya terdakwa bisa bebas.
Kasus korupsi pun begitu, jadi
rumit ketika sudah dalam persidangan. Padahal
unsur-unsur korupsi sudah jelas.
Akhirnya ada yang bebas dari dakwaan juga. Tambah rumit lagi naik di
tingkat kasasi. Ada putusan kasasi yg beda dengan putusan pengadilan tingkat
pertama, yaitu memutuskan tersangka bersalah, akhirnya tersangka tidak jadi
bebas.. Akhirnya si terdakwa tidak jadi bebas tapi terbukti
korupsi. Tidak puas putusan
kadasi, mengajukan upaya lagi dengan mengajukan Peninjaun Kembali (PK). Inikah namanya upaya hukum ditegakkan? Upaya berjuang tegakkan hukum?
Memang Hukum harus
ditegakkan tanpa pandang bulu, penegakan yang tegas merupakan upaya
pemberantasan korupsi yang terus diakukan, melalui perbaikan sistem pemerintahan.
Itulah yang pernah diungkapkan Joko Widodo, saat membuka pemaparan visi-misi
Capres/Cawapres, awal Januari 2019.
Hukum harus ditegakkan
oleh penegak hukum di Indonesia, demi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Sebab, saat ini sering dijumpai penegakan hukum yang lebih mengutamakan
kepastian hukum namun tidak mementingkan
rasa keadilan hukum. Sekarang kebalik, kepastian dulu baru keadilan. Jadinya
masyarakat merasa tidak mendapat keadilan hakikinya.
Realitasnya, penegak hukum di Indonesia banyak masih yang
menganut paham positivistik, yang lebih mengutamakan kepastian hukum
dibandingkan keadilan. Munculnya kasus-kasus yang dianggap kecil, hal yang
sepele , justru mendapat porsi perhatian dan hukuman berat. Seharusnya hukuman
berat diganjar ke pelaku kasus-kasus
besar misal kasus korupsi atau kasus
yang oleh masyarakat dianggap kasus besar.
Hal yang tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak berpihak pada rakyat.
Karena kasus kecil divonis berat, sedangkan kasus korupsi divonis ringan bahkan
mendapat keringanan hukum.
Nah apakah ini keadilan
benar-benar ditegakkan? Hal itulah
kemudian timbul solidaritas masyarakat karena tidak puas dengan vonis dan rasa keadilan, terhadap penegakan hukum karena kasus
dianggap besar dijatuhi hukuman yang
tidak sebagaimana mestinya.
Terkait Anggaran Desa yang diwacanakan untuk
dialihkan ke anggaran penangananan
Covid-19, ujung-ujungnya adalah soal
hukum. Secara hukum pengalihan anggaran desa ke penanggulangan Covid-19, harus
dipertanggungjawabkan. Jadi desa, Kepala
Desa sebagai kuasa anggaran harus memiliki legalitas sebagai dasar hukum untuk mengalihkan anggaran desa ke anggaran
penanggulanan Covid-19 yang tidak ada dalam perencanaan anggaran desa. Jika tidak
ada dasar hukum tertulis, maka
pasca covid-19 berlalu, hal YANG tidak
mungkin penegakan hukum akan berjalan. Jadi
Kepala Desa jangan sembrono. Suatu saat jika situasi normal,
biasanya ada yang berkecenderungan lupa
terhadap masa lalu, apalagi terkait
penegakan hukum!! (*)
Posting Komentar