Penulis : Sugiharto, Dosen Manajemen Pendidikan Islam (MPI)
STIT Islamiyah Karya Pembangunan Ngawi
"Assalamualaikum
anak-anakku semua, hari ini saya tidak minta kalian ngeshare materi atau
mengerjakan tugas secara online. Saya hanya minta kalian semua sholat dhuha
dan berdoa agar musibah ini cepat berlalu. Kasihan orangtua kita semua , tidak bisa bekerja dengan penuh waktu dalam
kondisi musibah seperti ini, …hari ini saya absen sampai silahkan diisi ya….” Itulah
sekelumit isi pembelajaran online
disampaikan pendidik kepada peserta didiknya. Pendidik menunjukkan ke penulis
usai berinteraksi dengan pserta didiknya melalui online. Isi pembuka pembelajaran lewat online itu menyentuh hati,
dan mengajak peserta didik ke suasana
batin prihatin karena bencana wabah Covid-19 yang belum tahu kapan ujungnya.
Sudah sepekan lebih anak-anak, mulai PAUD hingga SMA/MA/SMK tidak masuk sekolah, begitu juga mahasiswa tidak kuliah tatap muka. Pemerintah minta belajar dari rumah dengan menerapkan belajar daring atau pembelajaran melalui online dari rumah, menyusul kebijakan pembatasan sosial daripada lockdown (karantina wilayah) dalam menangani penyebaran Corona Virus Diseaase (Covid -19) oleh pemerintah.
Kebijakan Social Distancing dengan belajar dari rumah, kerja dari rumah, dan ibadah dari rumah. Kebijakan tersebut berdasarkan UU 6/2018 sebagai respons atas kedaruratan kesehatan masyarakat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementeran Agama hingga jajaran ke daerah harus memeras otak, bekerja ekstra, menggerakkan sekolah agar daring benar-benar bisa dilaksanakan dengan lancar dan memenuhi harapan.
Daring tidak
sesederhana yang diucapkan, tidak
sesederhana yang dihimbaukan atau diinstruksikan. Apapun alasannya, dalam dua pekan ini belajar
dari rumah tetap harus dilaksanakan. Prinsipnya sekolah tidak meliburkan. Proses
belajar-mengajar tetap berlangsung. Diganti
dengan proses belajar-mengajar melalui online.
Belajar di rumah di depan smartpohone, Computer PC atau Portable (laptop) mengikuti tutorial materi pelajaran dari guru atau perkuliahan dosen. Targetnya pencapaian pembelajaran tetap tercapai, meskipun di tengah bencana nasional wabah Covid-19.
Nah, prakteknya masih ada persoalan dalam pelaksanaan belajar dari rumah lewat online. Pertama, terkait kesiapan sekolah dan guru. Sekolah harus menyiapkan tenaga tutorial untuk mendampingi guru menggunakan aplikasi sistem pembelajaran lewat daring. Guru terampil IT, bisa dijadikan tutor. Tidak semua guru bisa menangkap secara cepat dan tanggap dalam menggungkan teknologi. Sedangkan masa proses pembelajaran daring sudah berjalan. Guru masih dalam tahap pengenalan dan pemahaman aplikasi daring.
Kedua, Fasilitas pembelajaran online pun banyak pilihan dan tawaran. Berarti harus dipilih fasilitas pembelajaran online yang tidak rumit, efektif-efesien. Mudah bagi guru, juga mudah bagi peserta didik. Jangan sampai proses pembelajaran melalui online ini, malahan berubah menjadi belajar online. Ada guru yang tidak ingin rumit-rumit. Anak diberi materi dan tugas lewat SMS dan di-whatsap, beres! Yang penting sudah memberi materi dan tugas pada anak. Padahal yang diharapkan tidak cukup itu. Tetap harus ada interaksi guru dengan anak, dengan pengawasan orangtua di rumah.
Ketiga, selanjutnya, guru harus melakukan tutorial aplikasi (fasilitas pembelajaran online) kepada peserta didik agar proses-belajar mengajar lewat daring cepat dilaksanakan. Ini membutuhkan waktu, tenaga. Padahal, guru dikejar batas masa proses belajar. Hanya dua pekan (jika tidak diperpanjang masa krisis Covid-19). Jadwal masa belajar dari rumah dengan penerapan online sudah berjalan sejak 16 Maret 2010. Andaikan batas belajar mengajar hingga 30 Maret berarti tinggal beberapa hari. Berarti untuk tutorial membutuhkan waktu.
Keempat, guru harus menyisihkan anggaran dari dompet sendiri, untuk pembelian pulsa paketan. Karena tidak memiliki jaringan Wifi. Menghandalkan Wifi di sekolah pun tidak bisa sepenuhnya, karena kapasitas penggunaan jaringan Wifi sekolah terbatas. Kala seluruh guru serentak menggunakan Wifi sekolah, ujung-ujungnya Wifi lemot. Persoalan lain, ada sekolah yang belum memiliki jaringan Wifi, tentunya menjadi persoalan bagi guru. Apakah suatu saat sekolah atau pemerintah perlu mengeluarkan untuk insentif sebagai pengganti pembelian paket pulsa?
Kelima, fasilitas smartphone dan peserta didik. Inilah persoalannya. Banyak anak didik belum memiliki smartphone. Kalau toh punya, kapasitasnya kecil. Ada yang tidak memiliki smartphone. Ada banyak orangtua/wali juga tidak memiliki smartphone. Ini kendala. Bergabung dengan teman yang punya smarphone tidak memungkinkan, karena semua harus membatasi komunikasi tatap muka. Belum faktor lain, tidak enak pinjam smardphone teman, tetangga maupun saudara. Apalagi ke warung internet sangat beresiko terhadap convid-19. Ada embatasan aktifivitas di luar . selama krisis Covid-19.
Mau tidak mau, orangtua harus menyisihkan anggaran pembelian smartphone untuk anaknya. Orangtua yang penghasilan pas-pasan tentu sangat berat dan memaksakan diri. Tidak mudah dengan kalimat: ‘bim salabim’ bisa beli smartphone. Harga smartphone dengan kapasitas minim 2 RAM, sudah diatas 1,5 juta rupiah. Apakah perlu pemerintah memberi subsidi smartphone bagi anak sekolah tidak mampu? Mungkin bisa ya, mungkin bisa tidak.
Bagi mahasiswa, hampir pasti tidak ada persoalan Mereka lebih dewasa dan
mampu mengatasi masalah. Sejak masuk di
perguruan tinggi, mahasiswa sudah mampu menggunakan smartphone atau dipaksa menggunakan aplikasi tutorial dalam proses
perkuliahan. Bisa jadi mahasiswa lebih mahir daripada dosennya dalam soal
penggunaan telepon cerdas. Penerapan
daring di tingkat perguruan tinggi
penekanannya pada persiapan program dan pelaksanaannya yang
lebih matang. Bagi mahasiswa Universitas Terbuka kuliah dari rumah hal yang sudah biasa. Mereka sudah terbiasa kuliah jarak jauh, dengan modul atau
memanfaatkan pembelajaran online. (*)
Posting Komentar