Oleh Sugiharto, Dosen STIT Islamiyah Karya Pembangunan Ngawi
Sudah rame
diperbincangkan. Meski Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Kabupaten Ngawi berlangsung tahun 2020. Rumor nama-nama
bermunculan. Si A, Si O, Si J, Si Y ’ dan inisial lain yang bergulir. Masyarakat pun menunggu tokoh lain yang memiliki
mental kuat untuk melakukan perubahan di Ngawi.
Rumor itu
sudah mulai jelas asal- muasalnya. Pendukungnya pun mulai bermunculan. Baik
terang-terangan, lewat medsos, bahkan sembunyi-sembunyi, Tetapi apapun rumor itu, hakekatnya Pilkada adalah
sarana menyalurkan partisipasi rakyat,
menunjuk kekuasaan politik, dan
memperjuangkan cita-cita masyarakat adil dan sejahtera. Sebuah
perhelatan untuk memilih kepala daerah
yang mumpuni, bukan ‘pacakan’ , atau ‘dagelan’.
Idealnya
dengan Pilkada, demorakrsi harus
dibangun berlandaskan nilai-nilai
Pancasila dan aturan hukum yang dibuat oleh legislator
sebagai perwakilan masyarakat, legalisasi yang dibuat penyelenggara pemilu
dan birokrasi. Bukan membangun demokrasi
berdasarkan nilai-nilai demokrasi
liberal, kapitalis, nilai-nilai demokrasi komunis,
atau demokrasi di luar pakem
nilai-nilai Pancasila.
Pilkada
harus menghasilkan pemimpin yang baik dan tepat, titi awal menggali dan
mengelola potensi.n Integritas,
etika, komitmen kebangsaan, kejujuran,
kapasitas diri, kompetensi serta
nilai-niai Pancasila yang harus dimiliki oleh yangnmencalonkan diri.
Pemimpin yang berkarakter seperti itu adalah harapan besar yang dicintai
masyarakat
Nah dengan melihat itu, ada beberapa hal yang
perlu dikedepankan. Pertama, partai politik pengusung calon, tim sukses,
partisipan partai politik harus mendahulukan kepentingan umum/masyarakat luas
dalam menentukan calon yang diusung. Tidak mementingkan\partai politiknya atau
kelompoknya. Kalau toh, calon yang
diusung nanti memperoleh kemenangan, maka calonnya
adalah pemimpin seluruh masyarakat, bukan saja pemimpin
dari partai politik pengusung dan kelompok pendukung.
Karena itu calon yang disusung harus benar-benar memenuhi syarat, sebagaimana calon pemimpin yang mementingkan masyarakat luas.
Sosoknya memiliki kemampuan menciptakan
jalinan silaturahmi, kebersamaan, persatuan dari seluruh umat. Pilkada tidak ada artinya, kalau jalinan
silaturahmi tidak dibangun.
Kedua,
Pilkada harus digiring ke
arah demokrasi yang lebih baik. Bukan justru sebaliknya, merusak
tatanan demokrasi dengan nilai-nilai Pancasila. Demokrasi
Pancasila telah disepakati sebagai pondasi filosofi demokrasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Siapa yang menolak demokrasi Pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, perlu dipertanyakan ke-Indonesia-an.
Ketiga,
Pilkada harus digiring sebagai sarana
menyalurkan aspirasi masyarakat. Masyarakat bebas untuk menyampaikan suara
dukungan terhadap calon kepala daerah yang dipilih. Masyarakat bebas dari segala tekanan dari pihak manapun. Suara dukungannya adalah suara hati nurani sendiri, bukan suara hati
nurani dengan imbalan
‘sedikit uang’.
Keempat,
pilkada jangan dijadikan alat untuk
mengeruk keuntungan diri sendiri atau kelompok., dengan ‘membeli’ dan ‘menjual’ suara
pemilih. Jual -beli suara dengan imbalan
uang atau imbalan dalam bentuk non materi, adalah bukti
prilaku berpolitik dan berdemokrasi-nya
masih sangat rendah. Hal itu
tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Kalau itu ada, berarti masih banyak orang di sekeliling kita yang tidak
peduli terhadap demokrasi dengan nuansa
nilai-nilai Pancasila..
Kelima,
Penyelenggara Pemilu—Komisi Pemilihan umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilu
(Bawaslu) sejak detik ini harus bekerja keras. Jangan cuma
datang, ‘tidur’, pulang dan mengambil
gaji di sekretariat. Meskipun pilkada masih 2020. KPU dan Bawaslu punya
inisiatif, kreatif, berimproviasi
mempersiapkan lembaganya untuk
menghadapi pelaksanan Pilkada 2020.
Daftar
Pemilih, persoalan klasik yang selalu
berulang-ulang setiap pesta demokrasi.
Daftar Pemilih harus menjadi
perhatian ekstra, disamping
sosialisasi membangun Pilkada berkualitas, berintegritas. Sejak awal
Personil KPU dan Bawaslu harus berpijak,
untuk apa dan untuk siapa duduk di kursi KPU dan Bawaslu?
Keberadaan
KPU-Bawaslu, bukan untuk kepentingan diri sendiri, kepentingan
golongan/kelompok, kepentingan penguasa atau kepentingan di luar kepentingan rakyat. KPU-Bawaslu tidak bisa
memilih pada kepentingan
penguasa. Tidak bisa berdiam di ‘tengah-tengah’ kepentingan-kepentingan itu.
KPU-Bawaslu harus memegang teguh amanat rakyat dan amanat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Untuk itu,
birokrasi dan penyelenggara Pilkada
harus memberi suri tauladan agar
demokrasi tanpa meninggalkan
nilai-nilai, kejujuran, keadilan dan
Pancasila. Keduanya harus menyuguhkan nilai-nilai demokrasi sebagaimana amanat undang.undang. Tentu bukan balutan filosofi demokrasi ala liberal, kapitalis, komunis, demokrasi di luar sana, apalagi demokrasi ‘cari penak
e’ dewe. Harapannya, Pilkada 2020 harus berlangsung meriah tanpa ‘cacat’ secara
de facto dan de jure. (*)
Posting Komentar